KUTAI KARTANEGARA - iNewsSamarinda.id - Beredar kabar burung adanya permintaan agar Sultan Kutai Ing Martadipura Aji Muhammad Arifin untuk segera turun tahta. Ternyata bukan isu belaka.
Kepada iNewsSamarinda.id. Ketua Perkumpulan Adat Remaong Koetai Berjaya (RKB) Hebby Nurlan Arafat menegaskan itu bukan isu. “Itu benar, bukan isu lagi,” ungkapnya usai pengukuhan kembali RKB perwakilan Kalimantan Timur (Kaltim) di Kedaton Kesultanan Kutai, Sabtu (2/9/2023) pagi.
Surat mosi tidak percaya itu dikatakan Hebby sudah ada sejak 5 hari lalu. Sehingga Sultan Arifin pun meminta RKB untuk mengirimkan surat balasan kepada oknum tersebut. Dimana isinya meminta oknum tersebut agar segera mengklarifikasi mosi tidak percaya itu.
“Ini titah Ayahanda Sultan. Waktunya hanya 2 x 24 jam. Apabila tidak ada klarifikasi, maka Sultan dan RKB akan menindak secara adat dan hukum positif,” tegasnya.
Mosi tidak percaya itu sambungnya, menyatakan bahwa ayahanda Sultan Arifin selama ini sama sekali tidak ada mengayomi para kerabat. Padahal ucap Hebby, ayahanda Sultan sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sultan Kutai Ing Martadipura Aji Muhammad Arifin diminta Mundur, Remaong Koetai Berjaya Turun Tangan (Foto : Istimewa)
“Ayahanda Sultan Arifin ini sudah terpilih secara adat dan negara. Bahkan sampai diakui dunia. Dan selama ayahanda menjadi Sultan, kami sebagai masyarakat adat di tanah Kutai, sangat merasakan hal positif sejak kepemimpinannya,” ucapnya.
Jadi besar kemungkinan. Timbulnya surat mosi ini disebabkan adanya kepentingan oknum tersebut terkait lahan di IKN dan lain sebagainya.
“Padahal sudah nyata ayahanda sultan sudah bertemu dengan Presiden Jokowi dan menyatakan bahwa Sultan Kutai dan kerabat serta seluruh masyarakat adat. Mendukung pembangunan IKN yang sudah berjalan,” kata Hebby.
Kemudian terkait titah Sultan untuk mengantarkan surat kepada oknum tersebut adalah sebagai bentuk menegakkan undang-undang kerajaan Kutai, Yakni Panji Selaten dan Brajaniti. “Yang mana isinya apabila menduakan, menggulingkan atau mengkudeta sultan, maka dalam adat halal bagi Sultan untuk menghukum oknum terebut,” tuturnya.
“Bahkan undang-undang itu tercantum dalam kitab lama, bukan buatan baru. Yang sudah ada sejak berdirinya kerajaan Kutai tertua di tanah Kutai. Itu tidak pernah berubah,” beber Hebby.
Editor : Maskaryadiansyah
Artikel Terkait