"Jadi memang dari dulu sampai UU No 3 yang terbaru ini, memang dipusat. Beda sama IUP, IUP kewenangannya di Kabupaten/Kota tahun 2014 UU 23 2014 kemudian pindah ke provinsi perizinanya sampai terakhirkan UU No 3 Tahun 2020, dialihkan semua ke pusat, jadi IUP sampai PKP2B sekarang posisi ada di pusat semua," ungkapnya.
Ia menjelaskan, untuk Dinas ESDM di Provinsi Kaltim ini hanya mengakomodir terkait permohonan galian mineral bukan logam dan batuan. Selain itu, dari sisi teknis juga banyak disampaikan perihal terkait lingkungan, seperti adanya penambangan melanggar bufferzone.
"Sempat ada bahasa jarak antara bufferzone dari pinggir sungai sampai ke kegiatan penambangan itu kurang lebih hanya 200 meter, padahal di dkoumen AMDAL itu menurut mereka yang tertera adalah 500 meter, harusnya. Cuman kalau dari pengamatan itu tidak bisa kita selesaikan di atas meja, kita harus betul-betul liat dikumen AMDAL dulu, karena AMDAL ini dokumen induk lingkungan," terangnya.
Ia menambahkan, pengecekan dokumen AMDAL tersebut harus diukur dengan teliti, apakah kurang, lebih atau pas. Karena kalau kurang dari ketentuan yang ada maka ada indikasi pelanggaran disitu.
"Misalnya kita tinjau dari sisi teknis," ujarnya.
Selain itu, ia juga mengatakan terkait tuntutan RKAB yang tidak sesuai dengan ketentuan, pihanya juga harus melihat langsung dokumen yang dipermasalahkan.
"Kita tidak bisa diskusi diatas meja, kita memutuskan sesuatu bahwa ini benar atau tidak. Ada hal teknis yang sebenarnya harus kita tinjau dulu dokumennya, tinjau lapangan, kita koperasi kesesuaian benar atau tidaknya," tandasnya. (*)
Editor : Maskaryadiansyah
Artikel Terkait